Test Otak, Seberapa pintarkah anda ?


Sebenarnya otak manusia sangat mudah terkelabui dengan proses yang ada. Sehingga dapat mempengaruhi hasil akhir yang dicapai. gak percaya? mari kita buktikan.

Dibawah ini ada empat ( 4 ) pertanyaan dan satu pertanyaan bonus. Jawablah semua dengan spontan tanpa banyak pikir. Cuma boleh berpikir sedetik, jawab segera. OK?

Ayo cari tahu, seberapa pintar anda… . Siap? GO!!!


Pertanyaan pertama:
Anda ikut berlomba. Anda menyalip orang di posisi nomor dua. Sekarang posisi anda nomor berapa?
Jawaban: Jika anda menjawab Nomor Satu, anda SALAH BESAR! Jika anda menyalip orang nomor dua, sekarang andalah yang ada di posisi nomor dua! Jangan ngaco lagi, ya?.

Sekarang jawab pertanyaan kedua, tapi jangan berpikir lebih banyak daripada ketika menjawab pertanyaan pertama tadi, OK ?

Pertanyaan Kedua:
Jika anda menyalip orang di posisi terakhir, sekarang anda di posisi…?

Jawaban: Jika anda menjawab anda orang kedua dari terakhir, anda SALAH LAGI… Coba, bagaimana caranya menyalip orang TERAKHIR? Anda sebetulnya tidak terlalu pintar, ‘ kan?

Pertanyaan ketiga: Hitung-hitungan yang pelik!
Catatan: kerjakan di pikiran anda saja. JANGAN gunakan kertas atau pensil atau kalkulator. Cobalah. Ambil 1000 dan tambahkan 40 padanya. Sekarang tambahkan 1000 lagi.Sekarang tambahkan 30 . ! Tambahkan 1000 lagi. Sekarang tambahkan 20. Sekarang tambahkan 1000 Sekarang tambahkan 10. Berapa totalnya? Apakah hasilnya 5000 ?

Jawaban yang benar adalah 4100. Kalau tidak percaya, cek dengan kalkulator! Hari apes, ‘kan?

Mungkin di pertanyaan terakhir anda bisa benar…….Mungkin.

Pertanyaan keempat:
Ayah Mary punya lima anak: 1. Nana, 2. Nene, 3. Nini, 4. Nono. Siapa nama anak kelima?

Apa anda menjawab Nunu? BUKAN! Tentu saja bukan. Anak kelima namanya Mary. Baca lagi pertanyaannya!

Okay, sekarang ronde bonus:
SEORANG bisu pergi ke toko dan ingin membeli sikat gigi. Dengan menirukan orang menggosok gigi, ia berhasil menyampaikan keinginannya pada penjaga toko dan ia berhasil membeli sikat gigi. …

Berikutnya, seorang buta masuk ke toko itu dan ingin membeli kacamata hitam, bagaimana DIA menunjukkan keinginannya?

Jawabannya adalah: Langsung aja ngomong, dia kan gak bisu …wakakakakakakkk

RELASI AGAMA DAN NEGARA

INDONESIA memasuki masa kritis", demikian ungkapan berbagai kalangan menanggapi gegap gempitanya pro-kontra perubahan UUD 1945. Dua kelompok besar antara yang menginginkan perubahan secara radikal terhadap konstitusi dan kelompok yang cenderung pada pemertahanan political status quo sama-sama berdiri berhadapan.

Ide dasar amandemen UUD 1945 sebenarnya bukan hal kontroversial. Sejak awal bergulirnya gerakan reformasi kepentingan untuk merubah dasar konstitusi negara sejatinya sudah muncul menjadi kesadaran umum. Hanya saja dalam langkahnya kini, ketidaksepakatan tampak menggejala pada sejauh mana ide perubahan itu hendak diaplikasikan.

Bagi kelompok pertama, perubahan konstitusi dimaknai sebagai langkah strategis untuk mengkaji lagi secara mendasar sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan dengan demikian tidak hanya bermakna sekadar improvisasi tambal sulam beberapa pasal UUD. Perubahan secara total terhadap struktur dan sifat konstitusi lama dipandang sebagai hal yang wajar demi perbaikan yang menyeluruh dari tatanan kebangsaan kita. Karena itu kelompok ini tidak mengenal istilah pasal-pasal sakral yang untouchable terhadap perubahan.

Berbeda dengan kelompok kedua, memahami amandemen sebagai langkah improvement terhadap bangunan konstitusi kita yang dirasakan perlu perbaikan. Karena sekadar perbaikan maka nomenklatur konstitusi lama harus tetap dijaga keutuhannya. Beberapa pasal yang sudah mapan tidak perlu diutak-atik lagi. Kelompok ini memandang perubahan yang habis-habisan terhadap UUD 1945 justru sebagai langkah abusement terhadap filsafat ketatanegaraan kita. Itu bukan langkah reformasi tetapi deformasi. Maka dari sinilah muncul istilah pasal sakral dan nonsakral.

Imbas dari polarisasi ini muncul beberapa pasal yang masih kontroversial. Di antaranya perdebatan mengenai perubahan Pasal 29 UUD 1945. Untuk sementara, MPR masih pada keputusannya tidak akan melakukan perubahan pasal agama ini (Kompas, 5/3). Posisi ini diambil berdasarkan pendapat mayoritas fraksi yang menyetujui untuk dipertahankannya Pasal 29 sebagaimana adanya. Hanya fraksi PPP dan PBB yang ngotot untuk mengubah pasal ini dengan memasukkan unsur Piagam Jakarta di dalamnya. (Kompas, 22/3) Namun, ini tidak berarti ide perubahan sudah ditutup.

Tentang agama dan negara

Problematika hubungan agama dan negara di Tanah Air sebenarnya sudah setua Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante di awal persiapan kemerdekaan, masalah ini meruncing dan tidak terselesaikan. Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang hendak diciptakan. Apakah teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrem yang sulit dipertemukan. Akhirnya, jalan tengah yang paling baik ditempuh. Yaitu negara yang nonteokratis tetapi agama dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya!

Masalahnya kemudian, bagaimana (how) dan sejauh mana (to what extent) negara mengurusi masalah agama. Di sini kita melihat, sejatinya perdebatan tentang perubahan Pasal 29 UUD 1945 merupakan lanjutan dari perdebatan tentang hubungan agama dan negara yang dikesampingkan pemecahannya. Karena itu, ide perubahan pasal ini harus kita lihat sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah konstitusi yang sekian lama tertunda. Dan ini dapat kita lakukan hanya bila masalah hubungan antara keduanya didekati dengan kepala dingin dan menyentuh core problem-nya.

Paling tidak ada dua masalah yang harus dipecahkan dalam hal ini.

Pertama, bagaimana dalam aplikasinya bentuk pengakuan negara terhadap agama. Apakah pengakuan itu harus direfleksikan dengan penyebutan secara eksplisit label dari subsistem agama tertentu yang diakui eksistensinya di Indonesia? Berkembangnya kontroversi Piagam Jakarta bermula dari pertanyaan ini. Penyebutan secara eksplisit tentang kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya tidak hanya problematik karena merangsang kecemburuan dari denominasi agama lain.

Pelabelan ini juga memunculkan kontroversi pada masalah hubungan antar-agama-agama yang diakui keberadaannya di Tanah Air. Penyebutan salah satu agama seolah menjadi preseden dari negara atas kelebihan satu agama dari agama yang lainnya. Dan ini tentu saja absurd.

Kedua, melanjutkan yang pertama, yaitu sejauh mana pengakuan negara atas agama-agama itu seharusnya. Apakah pengakuan itu harus diikuti pengurusan (administrasi) oleh negara sampai pada hal-hal yang amat detil dari aplikasi teologi masing-masing agama, atau hanya pada sphere generalnya saja. Jawaban terhadap pertanyaan ini jauh lebih rumit, karena berbicara perilaku negara, tidak dapat dipisahkan dari dasar filosofi politik yang dianut.

Pada negara-negara sekuler murni (seperti Amerika dan Eropa Barat umumnya), institusi negara cukup mengakui keberadaan agama tertentu tetapi pelaksanaan ajaran agama bukan urusan negara (state). Bahkan label-label agama dilarang untuk ditampilkan dalam sphere negara. Artinya urusan realisasi ajaran agama bukan menjadi wilayah negara tetapi dikembalikan kepada masing-masing pemeluknya.

Politik jalan tengah yang dianut Indonesia sejak awal menuntut agar administrasi agama diletakkan dalam state institution. Embrio dari langkah politik ini bermula pada kebijakan penjajah Jepang yang mendirikan Kantor Urusan Agama yang lalu berkembang pada masa kemerdekaan menjadi Departemen Agama. Persoalannya kini, sejauh mana pelayanan terhadap agama mampu dilakukan oleh institusi negara.

Sejauh ini terkesan, negara sebetulnya kewalahan "melayani" keinginan dan kebutuhan semua agama yang dianut masyarakat. Sehingga negara cenderung hanya mengurusi agama-agama besar, sementara agama-agama yang tidak begitu banyak pemeluknya tidak begitu diperhatikan. Kesan ini beralasan karena politik negara selama ini hanya mengakui lima agama yang hidup di Indonesia. Sehingga denominasi agama-agama kecil dalam masyarakat luput dari perhatian pemerintah. Dengan kata lain ada inequality dalam perilaku negara terhadap agama.

Reorientasi agama dan negara

Melihat kenyataan itu, maka saat ini adalah momen tepat untuk mengkaji ulang tatanan hubungan agama-negara di Indonesia. Ini tentu tidak bisa hanya diartikan sekadar improvisasi tambal sulam dengan mengulangi perdebatan lama yang tak pernah selesai. Hubungan antara keduanya harus dilihat dalam nuansa baru yang lebih sehat dan realistis. Untuk itu dikemukakan beberapa poin pemikiran.

Pertama, label agama apa pun tidak perlu dimunculkan secara spesifik dalam konstitusi. Bagi konstitusi cukup menggunakan istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai amanat kepada institusi negara untuk mengakui keberadaan semua denominasi agama yang ada di Tanah Air. Tidak hanya terbatas lima agama besar yang diakui selama ini.

Kedua, sebagai refleksi dari perlindungan negara terhadap hak azasi manusia (HAM) dalam beragama maka institusi negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan memelihara kehidupan beragama setiap penduduk sesuai agama masing-masing. Dengan perangkat undang-undang, negara berhak menjaga harmonitas hubungan antara masing-masing pemeluk agama maupun antarumat beragama. Perangkat aturan dalam hal ini tidak cukup sebatas peraturan menteri tetapi perlu dalam bentuk peraturan perundang-undangan untuk menegaskan kekuatan hukumnya.

Ketiga, negara tidak perlu campur tangan dalam skala mikro pelaksanaan ajaran agama masing-masing pemeluknya. Pengaturan administrasi oleh negara dalam, hanya diperlukan saat aplikasi ibadah itu melibatkan warga masyarakat secara nasional misalnya ibadah haji ke tanah suci bagi orang Islam.

Keempat, aturan-aturan hukum personal maupun interpersonal yang didasarkan ajaran agama menjadi kewajiban negara untuk memeliharanya. Tetapi pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah daerah disesuaikan kebutuhan masing-masing anggota masyarakatnya. Dengan demikian problem pelaksanaan Syariat Islam misalnya cukup diserahkan pemecahannya kepada pemerintah dan masyarakat daerah dimana ide itu muncul. Ide hukum agama yang muncul dilihat sebagai kebutuhan hukum dari masyarakat pemeluknya. Karena itu pemecahannya harus dikembalikan kepada masyarakat agama itu sendiri.

Mengikuti teori para ahli, tentu tidak semua poin itu perlu dimasukkan dalam konstitusi negara. Karena sifat dari konstitusi itu sendiri hanya mencakup aturan asasi dan general. Pengaturannya yang rinci dapat diatur dalam undang-undang yang menjadi pendukung konstitusi itu. Karena itu, keputusan untuk tetap mempertahankan rumusan Pasal 29 UUD 1945 sudah merupakan langkah strategis. Hanya saja aturan perundang-undangan di bawahnya yang musti dirumuskan dengan lebih baik lagi.

Agama, Demokrasi, dan Politik Rasional

POLEMIK menarik seputar perlunya pendidikan agama di sekolah terjadi tahun 1785 antara Patrick Henry dan James Madison, keduanya dari Virginia, Amerika Serikat.

Madison menolak andil agama dalam pendidikan warga negara. Pendidikan warga negara, menurut dia, bertujuan mendidik anak menjadi insan otonom dan itu niscaya bertolak belakang dengan pendidikan agama yang doktrinal. Henry, sebaliknya. Ia berargumen, pendidikan agama diperlukan guna meluruskan moral anak didik dan menyiapkannya menjadi warga negara yang berkeutamaan.

Madison mewakili kelompok liberal yang menolak infiltrasi agama dalam kancah day-to-day politics. Sedangkan Henry adalah suara kelompok agama yang menghendaki aktivisme praksis agama dalam realitas profan. Namun, sorotan utama penulis bukan pada siapa yang benar dan siapa yang salah. Fokus harus dipalingkan bagaimana upaya keduanya dalam mencari justifikasi publik.

Agama dan demokrasi

Mengangkat kembali polemik Henry-Madison menjadi penting saat robohnya Orde Baru, menajamkan lagi beberapa agenda politik kelompok agama yang sempat sayup. Salah satu agenda yang paling santer adalah rekomendasi kodifikasi Syariat Islam dalam hukum positif. Sebuah agenda kontroversial yang banyak mendapat reaksi keras kelompok liberal baik sekuler maupun kalangan agama sendiri.

Memposisikan agama dalam framework demokrasi-liberal, merupakan persoalan tersendiri. Masyarakat yang diatur oleh satu doktrin agama bukan lagi masyarakat warga (civil society) tetapi masyarakat beradab (civilized society). Masyarakat beradab melindungi kelompok agama minoritas tetapi tidak menjamin setara hak dan kewajiban masing-masing individu sebagai warga negara. Sedangkan, konsep masyarakat warga justru menuntut kesetaraan hak dan kewajiban masing-masing warga negara.

Benturan antara kelompok liberal dengan agama berkisar pada poros ideologis itu. Terpatrinya prinsip politik seperti kesetaraan, kebebasan, dan solidaritas, menurut kelompok liberal mengandaikan absennya kiprah politis agama. Kelompok sekuler-liberal selalu mencurigai persemaian benih-benih totalitarianisme pada setiap agenda politik kelompok agama.

Di sisi lain, kelompok agama juga menaruh kecurigaan yang sama kuat. Agenda kelompok liberal seperti penjaminan kebebasan mengikuti suara hati, dicurigai sebagai konspirasi pelemahan komunalisme agama. Individualisme adalah duri dalam daging bagi agama yang menekankan integrasi dan hierarki.

Pertanyaannya, apakah benar demokrasi-liberal mengandaikan redupnya kiprah politis agama? Penulis menganggap klaim itu masih bisa dipersoalkan. Jerat politis yang dipasang kelompok liberal sebenarnya memangsa ideal-ideal politik yang mereka junjung sendiri. Tuduhan totalitarianisme, akhirnya, bisa ditimpakan pada mereka. Harus dicatat, demokrasi tidak hanya menjamin hak-hak individu tetapi juga hak kolektif. Setiap kelompok dijamin haknya untuk mengatur diri sendiri dan juga berpartisipasi secara politis.

Deliberasi publik

Demokrasi disangga oleh apa yang disebut deliberasi publik. Deliberasi publik memuat tiga komponen pokok yang saling bertautan. Pertama, nalar publik. Nalar publik adalah format penalaran yang harus diajukan setiap warga negara setiap kali mereka mengusulkan, mendukung atau menolak hukum atau kebijakan yang melibatkan koersivitas pemerintah.

Kedua, rangka institusional. Kebebasan setiap warga negara untuk turut serta dalam diskursus publik, harus dijamin dalam satu rangka institusional yang adil.

Ketiga, budaya politik. Budaya politik adalah keterbiasaan setiap warga negara untuk mengadopsi nalar publik dalam mengajukan agenda-agenda politisnya.

Demi keberlangsungan demokrasi, setiap agenda kelompok-kelompok kepentingan harus disokong oleh nalar publik. Demokrasi tanpa nalar publik hanya akan menjadi bulan-bulanan manipulasi berbagai kelompok kepentingan. Kelompok sektarian macam Nazi, misalnya, pernah memanipulasi demokrasi. Hitler, atas nama kebebasan berpendapat, berpidato mengobok-obok sentimen anti-semit guna mendongkrak dukungan politisnya. Sebuah proses politik yang berujung pada totalitarianisme yang nyaris patologis.

Benih-benih totalitarianisme tidak akan berkembang bila proses deliberasi publik sungguh dijalankan. Setiap kelompok akan berusaha merebut hati publik secara rasional. Sebuah perwajahan proses politik yang rasional. Proses yang akan menempatkan nilai-nilai politik inklusif seperti keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas di atas segala kepentingan eksklusif.

Apa yang menarik dari polemik Henry-Madison adalah upaya Henry berpolitik secara rasional. Henry tidak memanipulasi demokrasi. Argumentasinya tidak didasarkan pada nilai-nilai transendental Kristiani guna menjaring masa.

Ia juga tidak berpidato berapi-api menyerang Madison sebagai musuh agama. Yang dilakukannya adalah mencoba meraih justifikasi publik secara rasional dengan menyandarkan argumentasinya pada nilai-nilai politik (keutamaan warga negara).

Kiprah politik agama tidak mesti asimetri dengan demokrasi. Ia menjadi asimetri ketika mengabaikan diskursus publik dan memasang harga mati. Setiap agenda yang berakar dari doktrin agama harus disokong oleh justifikasi publik. Artinya, bukan sekadar sah secara sepihak, tetapi diterima secara publik.

Henry tidak berpikir bagaimana memenangkan agendanya secara sepihak. Ia dengan berani memasuki kancah diskursus publik. Berpolemik habis-habisan guna meyakinkan publik secara rasional. Harga sebuah keyakinan, dibayar bukan dengan simbol-simbol agama tetapi nalar publik.

Tokoh Pembaharu Islam Fazlur Rahman

I. Biografi Tokoh

Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di tengah-tengah keluarga Malak yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian negara Pakistan. Ia dilahirkan dalam suatu keluarga muslim yang amat serius dan dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi madzhab Hanafi. Berdasarkan pengakuannya ia menuturkan: “Kami mempraktikkan ibadah-ibadah keislaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkan sekali pun. Ketika saya memasuki usia ke sepuluh, saya sudah dapat membaca al-Qur’an di luar kepala”.

Dari ibunya ia memperoleh pengajaran tentang nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan diatas segalanya cinta. Ayahnya adalah seorang alim yang terdidik dalam suatu pola pemikiran Islam tradisional. Tetapi, tidak seperti kebanyakan alim tradisional pada masanya, yang memandang pendidikan modern sebagai racun, baik bagi keimanan maupun moralitas. Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan maupun kesempatan-kesempatan.

Tahun 1933 ia beserta keluarganya pindah ke Lahore yang saat itu disebut “Kota Taman dan Perguruan Tinggi”. Di sanalah ia masuk sekolah modern. Sementara itu, di rumah ia mendapatkan pengajaran tentang mata pelajaran tradisional dari ayahnya. Setelah menamatkan pendidikan menengah, dia melanjutkan di melanjutkan studinya ke Universitas Punjab, dan memperoleh gelar M.A. dalam sastra Arab pada 1942. Dalam tahun 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University di Inggris, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Setelah menamatkan pendidikan di Oxford, ia mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris, kemudian di Institute of Islamic Studies, Mc Gill University, Kanada, dan ia menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy.

Di bawah dekade 1960-an, Rahman kembali ke Pakistan, dan menjabat selama beberapa waktu sebagai salah seorang staf senior pada Institute of Islamic Research. Dua tahun kemudian, ia ditunjuk sebagai direktur lembaga tersebut. Dia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology oleh pemerintah Pakistan. Dalam dua lembaga ini ia berupaya sekundusif mungkin mengembangkan pemikiran-pemikirannya untuk menafsirkan kembali Islam guna menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa itu. Kritik-kritiknya semakin tajam ketika mengemuka pandangan tentang definisi “Islam” bagi Pakistan, terutama terhadap pandangan kaum tradisionalis dan fundamentalis. Pandangan-pandangannya tentang al-Qur’an, Sunnah dan hadits, dan hukum-hukum tentang berbagai masalah menimbulkan kontroversi yang semakin berkepanjangan, dan berskala nasional.

Akhirnya, karena melihat dirinya tanpa dukungan, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam, yang langsung dikabulkan oleh Presiden Ayyub Khan. Tidak lama kemudian, Fazlur Rahman melepas jabatan sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan, karena dia merasa atmosfir dalam dewan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya. Dia memutuskan untuk hijrah ke Chicago, dan sejak 1870 menjabat sebagai Guru Besar Kajian Islam dalam berbagai aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Karya-karyanya mencakup hampir seluruh studi Islam normatif maupun historis, dan dia mulai mengidentifikasi diri sebagai neomodernis sehubungan dengan usaha pembaharuan yang tengah dilancarkan. Akibat serangan jantung, ia pun wafat pada tanggal 26 Juli 1988 di Chicago, Illinois.

II. Persoalan dan kegelisahan Akademik

Pakistan, sebuah negara yang didirikan bagi umat Islam, diproklamirkan pada tanggal 15 Agustus 1947. Kelahiran negara ini merupakan buah perjuangan umat Islam yang panjang di India untuk melepaskan diri dari dominasi mayoritas umat Hindu.

Negara Pakistan yang diimpikan para arsiteknya adalah sebuah negara ideologis, dimana kaum muslimin mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan petunjuknya. Lebih jauh negara baru ini merupakan negara demokrasi dengan konsep kedaulatan rakyat sebagai basisnya. Oleh karena itu, ijma’ sebagai pelaksanaan ijtihad kolektif dipandang perlu sehingga disetujuilah para ulama masuk ke dalam dewan legislatif untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan tentang masalah yang bertalian dengan hukum, setidak-tidaknya dalam tingkatan peralihan hingga hukum Islam telah dimodernisasi. Ide-ide inilah yang kemudian menjadi basis pemikiran politik kaum modernis muslim Pakistan.

Berbeda dengan Abu al-A’la al-Maududi, ia menyatakan bahwa karena di dalam Islam hanya Tuhan sendirilah yang berdaulat, baik secara politik maupun legal, maka dia harus dipandang sebagai satu-satunya perumus undang-undang di dalam sebuah negara Islam. Ajaran Islam sama sekali tidak mengakui filsafat kedaulatan rakyat, mendasarkan negaranya di atas pondasi kedaulatan Tuhan dan keperwakilan manusia. Sistem yang ditawarkan oleh al-Maududi ini biasa disebut “teodemokrasi”, yaitu suatu pemerintahan demokrasi ketuhanan sebab di bawahnya kaum muslimin diberi suatu kedaulatan rakyat yang terbatas, di bawah kedaulatan Tuhan. Kepala Negara di bawah sistem pemerintahan ini diangkat oleh kehendak umum kaum muslimin yang juga memiliki hak untuk memecatnya.

Sementara itu, kaum tradisionalis berpandangan bahwa hanya para ulama saja yang berkompeten untuk menafsirkan hukum. Oleh karena itu, fikih harus diterapkan pemerintah di bawah advis para ulama. Mereka menghendaki hukum fikih yang dihasilkan dalam sejarah Islam oleh para mujtahid lewat deduksi dari al-Qur’an dan sunah Nabi harus diberlakukan di Pakistan.

Di samping itu, terdapat pula kaum sekularis yang menuntut Pakistan menjadi suatu negara sekular modern, yang menggunakan konstitusi parlementer modern tanpa rujukan apapun kepada prinsip-prinsip Islam. Meskipun kelompok ini minoritas, peranannya dalam perdebatan konstitusional tak dapat disepelekan. Posisi kelompok ini mengambang di antara kubu tradisonalis dan fundamentalis di satu pihak, serta kubu modernis di pihak lain.

Perbedaan pandangan yang ada di kalangan mereka kemudian masuk ke dalam perdebatan-perdebatan sengit dalam merumuskan undang-undang oleh majelis konstitunte. Permasalahan yang diperbincangkan meliputi hal-hal yang mendasar seperti pengertian negara Islam, kedaulatan, keadilan, prinsip kesejahteraan sosial. Masalah lain yang mengundang perdebatan dan kontroversi berkepenjangan di antara mereka adalah hukum perkawinan, perceraian dan kekluargaan, masalah riba, bunga bank, pendayagunaan zakat, program keluarga berencana, penyembelihan hewan dan lain sebagainya.

Kontroversi-kontroversi persoalan tersebut sering memuncak, dan tidak jarang menimbulkan berbagai teror dan aksi fisik, sehingga menggoyahkan segi-segi keamanan negara. Di tengah-tengah kondisi seperti itulah Fazlur Rahman muncul dan mengemukakan gagasan pembaharuannya, mewakili sudut pandang kubu modernis. Hanya saja, dalam mengemukakan gagasannya tersebut, Fazlur Rahman lebih mempunyai metodologi yang sitematis dibandingkan dengan kaum modernis, sehingga beliau dikenal sebagai pelopor neo-modernis.

III. Penelitian Terdahulu

Karya-karya Fazlur Rahman cukup banyak. Agak sukar menentukan dalam ranah apa sebenarnya spesialisasi Rahman. Ia menulis buku tentang Islam, al-Qur’an, filsafat, dan berbagai tema penting lainnya. Akan tetapi di sini penulis akan membatasi pemikiran Fazlur Rahman tentang al-Qur’an dan cara penafsiran yang ditawarkannya.

Rahman kadang-kandang terpengaruh oleh gaya Ibn Taimiyah dalam berhujjah hingga dirasakan terlalu keras dengan memakai kata-kata tajam yang tidak selalu efektif menghadapi suasana mental umat yang belum siap. Contoh tentang ini misalnya , komentarnya terhadap seorang profesor Iran pengikut bahai yang dipandangnya kurang matang dalam berargumentasi. Rahman pernah berkata: “There is something wrong in his mind” (ada sesuatu yang kacau dalam otaknya). Selain itu, Rahman juga terpengaruh pada pemikiran yang agak liberal seperti yang dikembangkan syah Waliullah, Sayid Ahmad Khan, sir Sayid, Amir Ali, dan Muhammad Iqbal.

Pandangan Rahman tentang al-Qur’an memang cukup kontroversial. Rahman manyatakan dalam karyanya, Islam, “Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”. Pandangan yang tidak biasa dalam masyarakatnya ini kontan mendapat serangan sengit dari kaum ortodoks dan fundmentalis di Pakistan. Namun yang perlu dipahami di sini adalah apa sebenarnya yang dimaksud Rahman dengan “dalam pengertian biasa juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”.

Pernyataan Rahman ini bisa kita pahami ketika kita melihat bahwa al-Qur’an adalah Kalam Tuhan yang abadi, tidak bermula dan berakhir. Maka dari sini kita melihat bahwa keabadian dan ketakbermulaan ini sifatnya adalah transendental, bukan mewujud dalam dunia fisik. Karena dalam tradisi ilmu kalam, sesuatu yang berwujud fisik tidaklah abadi. Rahman memandang bahwa dalam konteks al-Qur’an yang berada di sisi Allahlah yang benar-benar abadi, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Sementara ketika al-Qur’an tersebut disampaikan kepada Umat manusia oleh Nabi Muhammad, maka al-Qur’an itu juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Karena bahasa Arab adalah produk budaya, secara otomatis “bahasa” al-Qur’an tersebut adalah bahasa yang dimengerti oleh Muhammad ketika al-Qur’an tersebut hendak disampaikan kepada kaumnya.

Bagi Rahman, wahyu adalah semacam ide yang masuk secara tiba-tiba ke dalam benak Muhammad. Ia hanya merupakan sebuah gagasan yang jelas, dan kemudian Nabi Muhammad menjadi “kepanjangan tangan” dari ide tersebut. Pemikiran Rahman yang demikian itu, sebagaimana dikemukakan di muka, tentu saja langsung mendapat kritikan tajam dari para penganut Islam yang telah mapan. Karena dalam pandangan tradisional, al-Qur’an adalah dari Allah, lafadz sekaligus maknanya.

IV. Metode Penelitian

Kemudian mengenai metode yang ditempuh Rahman dalam menafsirkan al-Qur’an adalah bertumpu pada pandangannya tentang pembaruan. Hal ini muncul dikarenakan oleh kecenderungannya dalam melihat realitas peradaban barat. Metode yang ditawarkan Rahman adalah teori double movement. Yaitu metode gerakan ganda (bolak-balik). Pertama, cara yang mesti ditempuh untuk menafsirkan adalah dengan kembali ke masa lalu. Kita berusaha melihat bagaimana pemahaman awal tentang al-Qur’an, konteks di mana ia turun, dan sebagianya. Setelah itu kita melihat ke masa kekinian, dengan berbekal pemahaman akan ruh universal terhadap penafsiran dari yang pertama, untuk kemudian mengkontekstualisasikannnya dengan kekinian.

1. Fazlul Rahman Dan Penafsirannya

Fazlur Rahman menyatakan, al-Qur’an sebagai firman Allah pada dasarnya adalah suatu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi manusia; dan ia bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa, dan haji. Dari awal hingga akhir, al-Qur’an selalu memberikan penekanan pada semua aspek-aspek moral, yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh karena itu, kepentingan sentral al-Qur’an adalah manusia dan perbaikannya.

Agar Islam relevan dengan situasi dan kondisi sekarang, dia menyarankan agar kaum muslim berani melampaui penafsiran literal dan tradisional atas al-Qur’an untuk memahami spiritnya. Oleh karena itu, ia memandang bahwa salah satu perkembangan paling menentukan dalam sejarah Islam adalah sikap kaum muslimin yang kaku dan formal terhadap al-Qur’an dan hadits. Pada periode awal keduanya dipahami secara historis dan dianggap sebagai suatu keutuhan yang terpadu dimana bagian-bagiannya diperlakukan seperti kaitan secara intim dan substantif, sehingga al-Qur’an dan hadits dipandang sebagai sumber yang mampu menjawab semua persoalan.

Menurut Rahman, pemikiran modernis untuk melihat kenyataan yang ada dan kemudian mencari jawabannya dalam al-Qur’an adalah suatu hal yang tepat. Tetapi mereka tidak mampu menciptakan metode yang cocok dan tepat, sehingga menyebabkan mereka tidak konsisten dalam menganalisis. Hal ini dapat menyebabkan mereka tergelincir sebagai westernis yang mengakibatkan timbulnya reaksi terhadap kaum modernis, baik dari kaum tradisionalis maupun dari kaum neo-revivalis.

Sementara kritik Rahman terhadap tradisionalisme dinyatakannya bahwa “suatu masyarakat yang harus memulai hidup dalam kerangka masa lampau, betapa pun manis kenangannya, dan gagal menghadapi realitas kekinian secara jujur, ia pasti menjadi sebuah fosil; dan sudah merupakan hukum Tuhan bahwa fosil tidak tahan lama: “Bukanlah Kami berbuat lalim terhadap mereka, merekalah yang melalimi diri mereka sendiri.

Fazlur Rahman berpendapat perlunya pengembangan metodologi penafsiran al-Qur’an yang memadai, mengingat selama ini umat Islam belum memiliki suatu pedoman yang mendasar mengenai metode dan cara penafsiran al-Qur’an. Terdapat kesalahan yang umum dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an, sehingga umat Islam sudah cukup puas dengan berpegang pada arti ayat-ayat secara terpisah-pisah. Kegagalan memahami al-Qur’an sebagai suatu kesatu-paduan yang saling berkaitan ini terjadi dalam bidang hukum, teologi maupun sufisme. Kegagalan ini tetap berlanjut hingga dewasa ini.

Bagi Rahman, tanpa suatu metode yang tepat dalam memahami Islam dan seluruh pesannya, orang akan sulit menangkap secara jelas dan tajam kaitan organis antara pondasi teologisnya dengan persoalan dan nilai praktis kemanusiaan dalam kehidupan kolektif. Oleh sebab itu Rahman berkali-kali menegaskan bahwa al-Qur’an harus dijadikan pedoman pertama dan utama dalam memahami Islam.

Di samping itu, pendekatan historis dalam memahami kandungan al-Qur’an perlu dilakukan, sehingga memahami kondisi aktual masyarakat Arab ketika al-Qur’an diturunkan pada saat memahami kandungan ayat-ayat adalah sangat penting. Dalam memahami al-Qur’an, yang utama harus lebih ditekankan pada tujuan “ideal moral” dari pada “legal spesifik”. Tujuan ideal moral yang terkandung dalam ayat-ayat harus lebih diutamakan dari ketentuan legal spesifiknya. Selain itu, sasaran al-Qur’an harus juga dipahami dan ditetapkan dengan memperhatikan latar belakang sosiologis, yang merupakan kondisi lingkungan di mana Nabi bergerak dan bekerja.

Secara umum, proses penafsiran yang ditawarkan Rahman mempunyai dua gerakan ganda. Pertama, dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur’an; dan kedua, dari masa turunnya al-Qur’an kembali ke masa kini. Gerakan pertama terdiri dari dua langkah, yaitu pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan al-Qur’an melalui cara mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Kitab Suci tersebut turun sebagai jawabannya. Dalam proses ini, kajian mengenai pandangan-pandangan kaum muslimin di samping bahasa, tata bahasa, gaya bahasa dan lain-lainnya akan sangat membantu sesudah hal itu diuji dengan pemahaman yang diperoleh dari al-Qur’an sendiri. Setelah itu, langkah kedua yang harus diambil ialah membuat generalisasi dari jawaban-jawaban spesifik tersebut, dan mengungkapkannya dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral yang bersifat umum. Sesudah dua langkah pertama ini, dilanjutkan menuju gerakan kedua yang berbentuk perumusan ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut, dan kemudian meletakkannya ke dalam konteks sosio-historis yang kongkrit saat ini.

Melalui metode ini, Fazlur Rahman berupaya memahami alasan-alasan jawaban yang diberikan al-Qur’an dan menyimpulkan prinsip-prinsip hukum atau ketentuan umumnya. Dengan demikian, Fazlur Rahman mengesankan lebih memilih makna yang bersifat universal daripada makna tekstual yang terikat dengan peristiwa lokal-historis. Rahman tidak terikat kepada ungkapan tekstual semata, tapi kepada nilai-nilai substansial yang terkandung di balik ungkapan itu.

Dengan demikian, Fazlur Rahman memberikan beberapa persyaratan metodologis dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an, yaitu:

a. Dalam menemukan makna teks al-Qur’an harus digunakan pendekatan historis, yang menempatkan al-Qur’an dalam tatanan kronologis sejarah.

b. Harus dibedakan antara ketetapan-ketetapan legal al-Qur’an dan sasaran-sasaran serta tujuan-tujuan dari ayat yang diturunkan.

c. Harus dipertimbangkan faktor-faktor yang menjadi latar belakang sosiologis, sehingga dapat dihindari penafsiran-penafsiran yang subyektif.

Dalam tataran teoritis, metode penafsiran teologis Rahman memberikan harapan akan munculnya suatu kepuasan religiusitas dan intelektual dalam menangkap ajaran agama secara utuh. Hanya saja, kelemahan yang nampak dalam metodologi yang ditawarkannya ini adalah aspek subjektif yang lebih menonjol pada saat melakukan sintesis antara berbagai ayat-ayat teologis yang saling berkaitan. Dalam hal ini, Fazlur Rahman sepenuhnya bersandar pada logika, dan mengabaikan latar belakang dan kronologis turunnya ayat tersebut. Sebab ayat-ayat metafisik dan teologis dalam pandangannya tidak banyak mengalami evolusi dan perkembangan, tidak sebagaimana ayat-ayat hukum. Oleh karena itu ia beranggapan latar belakang dan kronologi turunnya ayat teologis tidak diperlukan lagi.

Di sinilah barangkali terlihat aspek keliberalan metodologi penafsiran yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Konsep Tuhan, misalnya, menunjukkan secara jelas adanya hal-hal semacam itu. Pada masa awal turunnya wahyu, kata “Allah” tidak digunakan, karena untuk meluruskan keyakinan orang-orang musyrik. Pada masa itu mereka juga menggunakan kata “Allah” untuk menunjuk kepada Tuhan mereka, namun keyakinan mereka tentang Allah berbeda dengan keyakinan dalam Islam. Dari itu, ungkapan al-Qur’an pada saat itu lebih memilih kata Rabb daripada kata “Allah”

V. Istilah-istilah kunci dalam penelitian

Adapun istilah kunci yang digunakan dalam penelitiannya ialah sebagai berikut:

  1. Memahami spirit al-Qur’an.
  2. Memahami al-Qur’an melalui pendekatan historis.
  3. Nilai-nilai yang bersifat substansial.
  4. Memahami kondisi masyarakat Arab saat itu.

VI. Sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam

Ada tiga karya besar yang disusun Rahman pada periode awal:

1. Avicenna’s Psychology (1952);

2. Avicenna’s De Anima (1959); dan

3. Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958).

Dua yang pertama merupakan terjemahan dan suntingan karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir mengupas perbedaan doktrin kenabian antara yang dianut oleh para filosof dengan yang dianut oleh ortodoksi. Untuk melacak pandangan filosof, Rahman mengambil sampel dua filosof ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037). Secara berturut-turut, dikemukakan pandangan kedua filosof tersebut tentang wahyu kenabian pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis atau imaninatif, doktrin mukjizat dan konsep dakwah dan syariah.

Untuk mewakili pandangan ortodoksi, Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani, Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Hasilnya adalah kesepekatan aliran ortodoks dalam menolak pendekatan intelektualis-murni para filosof terhadap fenomena kenabian. Memang, Kalangan mutakallimun tidak begitu keberatan menerima kesempurnaan intelektual nabi. Tapi mereka lebih menekankan nilai-nilai syariah ketimbang intelektual.

VII. Logika dan sistematika penulisan

Membahas biografi seorang tokoh seringkali tidak terlalu penting dan signifikan untuk mengetahui pemikiran tokoh tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa tidak setiap masa lalu kemudian sangat berpengaruh dalam pemikiran periode selanjutnya. Namun tidak dalam kasus Fazlur Rahman. Justru dengan mengtahui biografi dan latar belakang hidupnya, kita akan mendapat cukup bahan untuk mengetahui arus pemikiran Rahman selanjutnya.