Fiqih Munakahah

1. Pengertian Khulu’
Menurut bahasa, kata khulu’ berasal dari khala’ ats-tsauba idzaa azzalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian isteri. Allah SWT berfirman, ”Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah:187). Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu. Kata Al-Khulu dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”. Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya. Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khu
Khulu' Cerai Ataukah Faskh? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Pendapat yang telah kami jelaskan, bahwasanya Al-Khulu merupakan faskh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafazh apa saja adalah shahih. Sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisahkan isterinya dengan tebusan (Al-Khulu) beberapa kali, maka ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafazh thalak maupun selainnya” . Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan : “Yang shahih, bahwasanya Al-Khulu tidak terhitung sebagai thalak, walaupun dengan lafazh thalak dan dengan niat thalak, dan itu umum ; baik dengan lafazh thalak secara khusus maupun dengan lafazh lainnya, dan juga karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafazh dan susunan katanya” . Sedangkan Syaikh Al-Albani menyatakan : “Yang benar adalah fasakh sebagaimana telah dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syaikhul Islam dalam Al-Fatawa”.

2. Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci. Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

3.Pengertian Li'an
Kata li'an ini berasal dari kata al-la'nu. Yaitu, ucapan seorang suami sebagai berikut,"Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku benar-benar melihat istriku telah berzina." Kalau ada bayi yang lahir dan ia yakini bahwa itu bukan anaknya, maka hendaklah ia nyatakan bahwa bayi itu bukan anaknya. Ucapan itu hendaklah diulangi empat kali, kemudian ditambah pada yang kelima dengan kalimat, "laknat Allah akan menimpa sekiranya aku dusta dalam tuduhanku ini."
Menurut istilah syara', li'an berarti sumpah seorang suami di muka hakim ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. jadi, suami menuduh istrinya berbuat zina, dengan tidak mengemukakan saksi, kemudian, keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut.

4. Pengertian Talak
Yang dimaksud dengan talak adalah pemutusan tali perkawinan. Talak merupakan sesuatu yang disyar’iatkan. Dan yang menjadi dasarnya adalah Al-Qur’an dan al-Hadits serta ijma’.

Klasifikasi Talak
Talak dilihat dari Segi Lafadz
Talak ditinjau dari segi lafadz terbagi menjadi talak sharih (yang dinyatakan secara tegas) dan talak kinayah (dengan sindiran).
Talak sharih ialah talak yang difahami dari makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalnya, ”Engkau telah tertalak dan dijatuhi talak. Dan semua kalimat yang berasal dari lafazh thalaq. Dengan redaksi talak di atas, jatuhlah talak, baik bergurau, main-main ataupun tanpa niat. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, ”Ada tiga hal yang sungguh-sungguh, jadi serius dan gurauannya jadi serius (juga) : nikah, talak, dan rujuk.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1826 dan Tirmidzi II:328 no:1195).
Talak kinayah, ialah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya. Misalnya ”Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu”, dan semisalnya.
Dengan redaksi talak di atas maka tidak terjadi talak, kecuali diiringi dengan niat. Jadi apabila sang suami menyertai ucapan itu dengan niat talak maka jatuhlah talak; dan jika tidak maka tidak terjadi talak.

5. Nusyûz
adalah pelanggaran istri terhadap perintah dan larangan suami secara mutlak. Jika seorang istri tidak melakukan kewajiban semisal shalat, atau melakukan keharaman seperti tabarruj (berpenampilan yang menarik perhatian lelaki lain), maka seorang suami wajib memerintahkan istrinya untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman tersebut. Jika tidak mau, berarti dia telah melakukan tindakan nusyûz. Dalam kondisi seperti ini, seorang suami berhak untuk menjatuhkan sanksi kepada istrinya. Dia juga tidak wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Jika istrinya telah kembali, atau tidak nusyûz lagi, maka sang suami tidak berhak lagi untuk menjatuhkan sanksi kepada istrinya, dan pada saat yang sama dia pun wajib memberikan nafkah istrinya.

6. Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal
dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang
menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah
sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan
perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan
baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau
berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA

Pengertian Hukum Acara Perdata :

A. Menurut Para Ahli :

1. Abdul kadir Muhammad: peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
2. Wirjono Projodikoro : rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak satu sama lain untuk melaksnakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
3. Sudikno Mertokusumo : peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata meteril dengan perantaraan hakim.

B. Istilah dam Pengertian

1. Hukum Perdata Materil : Hukum Yang mnegatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata.
2. Hukum Perdata Formil : Hukum Yang mengatur cara mempertahankan atau melaksanakan hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan hukum perdata.
3. Hubungan antara Hukum Perdata Materil dan Hukum Perdata Formil : Hukum perdata formil mempertahankan tegaknya hukumn acara materil, dan jika melanggar perdata materil maka diselesaikan dengan perdata formil.

Sumber-sumber Hukum Acara Perdata dan dasar hukumnya
1. Sumber Hukum material yaitusumber hukum dalam arti bahan diciptakannya atau disusun suatu norma hukum.
2. Sumber Hukum Formal yaitu sumber hukum dalam arti dapat ditemukannya atau dapat digalinya satu norma hukum sebagai satu dasar yuridis suatu peristiwa hukum atau suatu hubungan hukum tertentu.
A. Sumber Hukum Material
a. Sumber dalam arti sumber filosofis;
b. Sumber dalam arti sumber sosiologis;
c. Sumber dalam arti sumber historis;
d. Sumber dalam arti sumber yuridis.

B. Sumber Hukum Formal
a. Sumber Hukum Tertulis
- HIR (S. 1884 no.16, S.1941 no.44), RBg (S.1927 no.227), RV (S.1847 no.52, 1849 no.63)
- BW buku IV, WvK dan Peraturan Kepailitan
- UU no. 1 Tahun 1974 (LN 1) tentang perkawinan
- Undang-undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
- Undang-undang No.5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
- Undang-undang No.8 Tahun 2004 Perubahan atas undang-undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
- Undang-undang No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat
- UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Hingkungan Hidup
- UU no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Undang-undang Khusus lainnya dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya dalam bidang peradilan

Sumber Hukum Tidak Tertulis
- Yurisprudensi
- Doktrin dan ilmu Pengetahuan
- Perjanjian Internasional
- Kebiasaan

Asas-asas Hukum Acara Perdata Peradilan agama
A.1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama

1) Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
2)Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3)Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4)Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
5)Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
6)Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

A.2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
1)Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :
a.Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b.Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c.Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
2)Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
3)Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
4)Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :

a.Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”.
b.Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
c.Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.

5)Asas “Aktif” memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6)Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7)Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkatbanding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan,kecuali undang-undang menentukan lain.

8)Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9)Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Kompetensi Obsolut dan Relatif Peradilan Agama
A. Kompetensi Obsolut Peradilan Agama
Kompetensi absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah sebagai berikut.
- perkawinan;
- waris;
- wasiat;
- hibah;
- wakaf;
- zakat;
- infaq;
- shadaqah; dan
- ekonomi syari’ah.

B. Kompetensi Relatif Peradilan Agama
Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Negeri. Atau dengan kata lain Pengadilan Negeri mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan. Misalnya antara Pengadilan Negeri Bogor dan Pengadilan Negeri Subang, Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.
Dari pengertian di atas maka pengertian kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara.

A. Kewenangan Relatif Perkara Gugatan
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi:
a.gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal;
b. apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat;
c. apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat;
d. apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
e. Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.

B. Kewenangan Relatif Perkara Permohonan
Untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan adalah Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu, perkara-perkara tersebut adalah sebagai sebagai berikut:

a. Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
b. Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
c. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.
d. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.

Mahar dan Kedudukannnya di KHI

Mahar (mas kawin) adalah pemberian (wajib) dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang dan jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Macam Mahar :
a) Mahar musamma adalah mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam sighal akad nikah. Mahar ini bisa dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan dengan persetujuan kedua belah pihak.
b) Mahar mitsil ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut jumlah yang diterima keluarga pihak isteri, karena pada waktu akad nikah jumlah dan bentuk mahar belum ditetapkan.

pembayaran mahar
a) Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
b) Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
c) Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya
d) Mahar dapat diserahkan secara tunai dan ditangguhkan dan jika mempelai wanita menyetujuinya, maka menjadi utang calon mempelai pria
e) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul dalam keadaan mahar masih terulang, maka ia wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. Demikian juga jika suami meninggal dunia qobla al dukhul maka seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak penuh isteri. Dalam hal terjadi perceraian dengan qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Sengketa mahar.

a) Jika mahar hilang sebelum diserahkan, maka dapat diganti dengan uang atau barang lain yang senilai.
b) Jika mahar cacat tetapi mempelai wanita mau menerimanya, maka mahar dianggap telah lunas. Akan tetapi, jika ia menolak, maka mempelai pria wajib menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap belum lunas.
c) Penyelesaian perselisihan tentang mahar baik mengenai jenis maupun nilainya dapat diajukan ke pengadilan agama.

MAHAR DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM

Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2)Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.

Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelesaian diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38
(1)Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2)Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

LARANGAN KAWIN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM

Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya

(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas keturunannya.

(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :

a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

SEJARAH SUFI DAN ALIRAN-ALIRAN DALAM TASAWUF

A. SEJARAH PERKEMBANGAN SUFISME

1. Definisi sufi
Kata sufi/ sufiyah, diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawuf. Berikut beberapa definisi sufi yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain:

a. Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy

االصُّوْ فيُّ مَن صَفَا قَالْبَهُ مِنَ الْندَرِوَامْتَلاَ مِنَ الْعِبَرِ

Sufi adalah orang yang hatinya jernih dari kehidupan yang buruk dan terisi pengajaran (dari Tuhan) serta kemurniannya bagaikan emas dan tanah liat.

b. Al-Qusyalry

Sufi adlah orang yang tidak pernah merasakan letih (bila ) mencari keridhan Allah dan tidak pernah susah (bila) ditimpa suatu cobaan.

c. Imam Al- Ghazali

االقُوْ فِيَّةُ اَهْلً الْلقَرْ بِ سَلَكُوْا بِنُوْ الاِحساَنِ

Beliau mengungkapkan pendapat Abu Bakar Al-Kattaany bahwa, sufi adalah ahli ibadah yang telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) dan ihsan (perbuatan mulia).

d. Ibnu ‘Athaa’ As-Sakandary

Sufi adalah orang yang benar (kelakuannya), yang ditandai dengan sikap memfakirkan dirinya setelah ia memiliki kekayaan, bersikap sederhana setelah ia mengalami kesulitan dan menyembunyikan dirinya setelah ia terkenal.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, seorang sufi adalah orang yang disucikan hatinya oleh Allah dan dia berupaya membangun hubungan harmonis dengan-Nya dan dengan makhluk-Nya dengan jalan menapaki laku yang tepat sebagaimana di contohkan secara sempurna oleh nabi Muhammad SAW.

2. Asal mula muncul istilah sufi
Para ulama tasawuf berbeda pendapat dalm menetapkan asal-usul pemakaian istilah sufi. Kata sufi dinisbatkan kepada beberapa kata seperti:

a. (صَفاَ,يَصفٌ,صَخْواً, اَوصَفاًء berarti suci atau bersih. Hal ini sesuai dengan keterangna Mahmud Amin An-nawawy bahwa:

قَا لَتْ طَايِفَةٌ : اِنَّمَا سُمِّيَتِ الصُّوْ فِيَّةُ صُوْ فَيَّةًً لِصِفَا ءِ اَسْرَارِ هاَوَ نَقاءِ ال ثَارِهَا.

Artinya: segolongan ahli tasawuf berkata: bahwasanya pemberian nama menjadi sufiyah karena kesucian rahasianya (hatinya) dan kebersihan kelakuannya.

b. Dari kata صَفُّ yang bentuk jama’nya adalah صُفُوْفُ yang artinya shaf atau barisan.

c. Bisa pula dinisbatkan pada kata اَهْلُ الصُّفَّةِ yaitu nama nama yang diberikan kepada orang-orang sufi di masa rasulullah saw. Mahmud Amin An-Nawawy mengatakan bahwa:

قَالَ قَوْ مُّ : اِنَّمَا سَمُّوْا صُوْفِيَّةً لِقُوْبِ اَوْ صَا فِهِمْ مِنْ اَوْصَا فِ اَهْلِ الصُّفَّةِ الَّذِيْنَ كَا نُوْا عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّا اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ.

Artinya: segolongan ulama tasawuf berkata bahwasanya mereka menamakan sufiyah karena sifat-sifatnya mirip dengan sifat-sifat ahlush suffah yang hidup di masarasulullah SAW.

d. dinisbatkan pada kata اَلصُّوْ فُ yang artinya pilihan (terbaik). Hal ini dikatakan oleh Yusuf bin Al-Husain sebagai berikut:

لِكُلِّ اُمَّةٍ صَفْوَةٌ وَهُمْ وَدِيْعَةُ اللهِ الَّذِيْنَ اَخْفَا هُمْ عَنْ خَلْقِهِ, فَاِنْ يَكُنْ مِنْهُمْ فىِْ هَذِهِ اِلاُْ مَّةِ فَهُمُ الصُّوْ فِيَّةْ.

artinya: setiap umat terdapat orang-orang pilihan (terbaik) dan mereka adalah titipan Allah yang bersembunyi dari makhluk-Nya. Apabila terdapat orang-orang tersebut pada umat ini (islam), maka mereka itulah yang (dimaksudkan) shufiyah.

e. Dinisbatkan pada kata اَوْصَا فٌ yang berarti keterangan (sifat). Mahmud Amin An-Nawawy mengemukakan:

سُيلَ الشِبْلىُّ : لِمَ سُمِّيَتِ الصُّوْ فِيَّةُ صُوْ فِيَّةً ؟ قَالَ : لاَِنَّهَا ارْ سَمَتْ بِوُجُوْ دِ الرَّ سْمِ وَمَثْبِتِ اْلوَصْفِ.

Artinya: Pernah As-Sibly ditanya Mengapa orang-orang sufi dinamakan sufi? Ia menjawab: karena padanya terlukis adanya gambaran (hati nurani) dan ketetapan sifat yang terpuji.

Pada abad 10 M, Al-Kindi menunjuk komunitas kecil yang menyeru kepada kebaikan dan secara lantang menentang setiap kejahatan di Alexandria Mesir. Menurutnya, kelompok tersebut disebut dengan sufi. Sedangkan Muruj Adz-Dzahab al-Ma’udi mengatakan bahwa sufi pertama kali muncul pada masa khalifah Abbasiyahal-Makmun. Menurut Abu al-Qasim Qushayri, sufi muncul pertam kali pada abad 9 M, sekitar 200 tahun setelah nabi SAW wafat.

Selain itu, diterangkan pula bahwa terdapat sejumlah masalah sosio politik yang melatarbelakangi munculnya sufisme. Masalah terus bergulir sejak rasulullah wafat. Sampai pada masa kepemimpinana raja Abbasiyah yang tiran dengan moral yang bobrok serta memutarbalikkan model hidup nabi Muhammad SAW, dengan mengklaim dirinya sebagai pemerintah yang absah. Tak hanya itu, islam juga mengalami pembalikan situasi kepada rasisme, feodalisme, kasta social dengan pemilihan kaya dan miskin serta structural-struktural social lain yang didasarkan pada system kesukuan dan keluarga. Dalam situasi demikian terdapatlah sejumlah orang-orang yang memiliki kearifan dan kesalehan yang agung serta para pencari kebenaran yang berusaha mengakhiri ketidakadilan khalifah. Mereka ingin memisahkan diri dari kelompok yang berkuasa ataupun pendukung-pendukung mereka yang berorientasi dunia. Jadi, kita menemukan bahwa permulaan munculnya sufisme lebih merupakan konsekuensi alamiah sebagai tanggapan atas pemerintahan yang korup daripada menaati raja Diraja, yakni Allah Ta’ala, melalui ketaatan atas “wakilnya yang benar” di atas bumi.
Apa yang dilakukan oleh para sufi di masa-masa awal dapat dilakukan oleh siapapun yang mencari pesan-pesan luhur dalam hidupnya. Karena itulah sangat terburu-buru bila kita mengatakan bahwa sufisme baru dijumpai pada 200 tahun setelah wafatnya Rasululloh atau kita katakana bahwa sufisme berasal dari orang-orang miskin yang sederhana dan baik hati.
Kedua pandangan tresebut dapat benar dapat pula salah karena sufisme adalah gerakan yang berawal dengan memiliki bentuk tanda-tanda dan ukuran-ukuran ketika kepemimpinan/ pemerintahan islam menyimpang dari ajaran islam yang orisinil. Pada tahapan ini kelompok sufi mulai mengalami perkembangannya.
Para sufi, mengalamatkan diri mereka untuk persoalan-persoalan manusia sebelah dalam dank arena itu mereka mengembangkan pengetahuan tentang kedirian sebelah dalam. Ketika Imam Junaid ditanya: “Kapan nama sufi mulai ada? Beliau menjawab: “Sufisme adalah realitas tanpa sebuah nama, tetapi sekarang ini, ia merupakan nama tanpa realitas.
Hal ini dapat diumpamakan dengan orang yang memasak daging, kemudian memakannya tanpa memberikan nama apapun untuk hidangan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sufisme sudah ada sejak zaman rasulullah SAW, namun tanpa label atau embel-embel lain yang diberikan kepadanya.
Salah satu dokumen tertua yang juga mendukung tentang kemunculan sufisme berasal dari Abdurrahman al-Sulami yang lahir pada 938 M di Iran. Di dalamnya dapat dijumpai situasi yang berkaitan dengan pencarian kebenaran serta kesinambungan transformasi dasar jalan hidup kesufian selama abad 9 dan 10 M.

B. ALIRAN-ALIRAN DALAM TASAWUF

Berdasarkan kode etik keilmuan dan penyajian akademik tasawuf ada dua:

1. Tasawuf Sunni
Yaitu memahami tasawuf berdasarkan dalil naqli saja (al-Qur’an dan Sunnah) yang kebanyakan diterima oleh ulama ahli sunnah wal jama’ah. Beberapa tokoh dalam tasawuf ini antara lain: Al-Ghazali, Hasan al-Bisri, Al-Harits Al-Muhasibi, dan Abdul Karim Al-Qusyairi.


2.Tasawuf Falsafi
Yaitu memahami tasawuf berdasarkan dalil naqli dan masih menggunakan alat bantu aqli filsafati.
Beberapa tokoh dalam tasawuf ini antara lain: Rabi’ah al-Adawiyah, Zunnun al-Misri, Yazid al-Busthami, Husein bin Mansural-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Abdul Karim al-Jilil.
Selain aliran-aliran tersebut trdapat pula pembagian aliran-aliran sufisme yang masing-masing memiliki karakter yang dominan, antara lain:

1. Aliran Qadiriyah
Didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jaelani (1166 M)di Jaelan, Persia.
2. Aliran Rifa’iyah
Didirikan oleh Syekh Ahmad al-Rifa’ie (1182 M) di Bashrah
3. Aliran Sadziliyah
Mulai diketahui melalui Syekh Abu al-Hasanal-Sadzily dari Maroko (1258 M).
4. Aliran Maulawiyah
Didirikan oleh Maulana Jalal al-Din Rumi dari Konya, Turki (1273 M). Pengikut aliran ini dikenal sebagai para darwis yang berkelana.
5. Aliran Naqshabandiyah
Diambil dari nama pendirinya, yakni Bahaud Din Naqshabandi dari Bukhara (1390 M). Aliran ini adalah satu-satunya aliran yang memiliki geneologi silsilah transmisi “ilmu” melalui pemimpin muslim pertama yakni Abu Bakar, bukan seperti aliran-aliran sufi lain yang memiliki geneologi melaliu para pemimpin spiritual syi’ah, tentu melalui Imam Ali kemudian sampai kepada nabi SAW.
6. Aliran Bektashi
Didirikan oleh Hajji Bektash dari Khurasan (1338 M). Pengikut aliran ini juga dipandang sebagai pengikut syi’ah.
7. Aliran Ni’amatullah
Didirikan oleh Syekh Nurrudin Muhammad Ni’matullah (1431 M). aliran ini banyak dijumpai di Iran dan India.
8. Aliran Tijani
Didirikan oleh Syekh Abbas Ahmad Ibnu al-Tijani, al-Jazair (1815 M)

9. Aliran Jarrahi
Didirikan oleh Syekh Nurrudin Muhammadal-Jarrah, Istanbul (1720 M) yang menyebar sampai Turki dan sebagian di Amerika barat dan utara.
10. Aliran Chisti
Didirikan oleh Abu Ishaq Shami Chisti (966 M) yang menyebar terutama di daerah Asia Tenggara.

C. NADZARIYAH WA AMALIYAH

1. Ajaran Al-Hallaj
Nama Lengkapnya adlah al-Mughisy al-Husein bin Mansur al-Hallaj, lahir di negeri Baida bagian selatan Persi pada tahun 244 H/875 M. Beliau wafat karena dijatuhi hukuman mati oleh pihak pengadilan. Mengenai sebab-sebabnya sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Namun, Harun nasution menyatakan bahwa beliau dihukum karena diduga memiliki memiliki hubungan dengan gerakan Qaramithah, yaitu sekte syi’ah yang dibentuk oleh Hamdan ibnu Qarmat. Sekte ini berpaham komunis dan senantiasa melakukan terror, termasuk berusaha menyerang Makkah.
Paham tasawuf al-Hallaj dikenal dengan nama al-Hulul yang merupakan perkembangna dan bentuk lain dari pada ittihada Abu Yazid. Menurutnya, Tuhan dan manusia sama-sama memiliki sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan. Pemikiran ini didasarkan hadist berikut:
ااِنَّ اللهَ خَلَقَ اَدَمَ عَلىَ صُوْرَ تِهِ

artinya: Tuhan menciptakan Adam menurut bentuknya.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya. Disebutkan satu pernyataan tentang hulul dalam teks Arab yang berbunyi:
اانَّ اللهَ اُصَطَفىَ اَجْسَامًا حَلَّ فِيْهاَ بِمَعَا نىِ الرُّ بُوْ بِيَّةِ وَاَزَالَ عَنْهاَ مَعَا نىِ اُلبَشَرِ يَّةِ

“ sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna keTuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari pemikiran al-Hallaj yang mengatakan pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan).
Sebelum tuhan menjadikan makhluk, Dia hanya melihat diri-Nya sendiri. Allah hanya melihat kepada zat-Nya dan Iapun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat didefinisikan. Karena itulah Allah menjadikan dari yang tiada menjadi ada, berupa copy-an dari didri-Nya. Bentuk copy ini adalah adam. Allah memuliakan dan mengagungkan Adam. Dia cinta pada Adam karena terdapat sifat yang dipancarkan dalam diri Adam yang berasal dari Tuhan.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanann dalam dirinya. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah:
Yang Artinya: dan ingatlah ketika Kami berkata kepada para malaikat: ”sujudlah kepada Adam”, semuanya sujud kecuali iblis yang enggan dan merasa besar, Ia menjadi yang tidak percaya (al-Baqarah: 34)
Menurut Hallaj, dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan. Jika sifat itu bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan, maka terjadilah hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana, seperti dalam pandangan al-Busthami. Dapat pula dikatakan bahwa al-hulul adalah suatu tahapan di mana manusia dan tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan , bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insane (nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
Selanjutnya untuk menempatkan al-Hallaj sebagai pembawa paham hulul, dapat dipahami dari beberapa pernyataan dibawah ini:
مُزِجَتْ رُوْحُكَ فىِ رُوْحىِ كَمَا تُمْزَجُ اْلخَمْرَةُ بِالْمَاءِ لِزُلاَلِ فَاِذَ ا مَسَّكَ شَيْىٌ مَسَّنىِ فَاِذًًا ااَنْتَ اَنَا ضِ كُلِّ حَالٍٍ
Jiwamu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyuruhaku pula dan ketika itu dalam tiap hal eEngkau adalah aku.
Dalam paham al-Hulul terdapat dua hal yang harus dicatat. Pertama, bahwa paham hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari mahabbah sebagaimana disebutkan dibawa Rabi’ah al-Adawiyah. Kedua, hulul juag menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan.
Perbedaan antara ittihad oleh al-Busthami dengan al-hulul adalah bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh. Hal ini dapat dipahami dari syair yang dinyatakan oleh Hallaj:
ااَنَا سِرُّا لْحَقِّ مَالْحَقُّ اَنَا بَلْ اَنَا حَقُّ فَفَرِّقْ بَيُنَنَا
“ Aku adalah rahasia Yang Maha Besar, dan bukan lah Yang Benar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”.
Dari pernyatan diatas dapat kita tarik satu kesimpulan bahwa, ana al-haqq (saya yang maha benar), sebenarnya bukanlah roh al-Hallaj yang mengucapkan demikian, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat (hulul) dalam diri al-Hallaj.
2. Ajaran imam Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Beliau lahir di Thus pada tahun 450 H/1058 M. beliau kemudian dikenal dengan julukan Hujjatul islam berdasarkan keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran islam dari serangan baik dari luar ataupun dari islam sendiri.
Pokok-pokok ajaran tasawuf al-Ghazali adalah ma’rifah. Yakni mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturan-peratura-Nya mengenai segala yang ada.
Al-Ghazali menerangkan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang tuhan, tidak akan mengatakan kata-kata ya Allah atau ya Rabb karena memanggil tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa tuhan itu masih berada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu.
Menurut al-Ghazali, ma’rifah dan mahabbah adalh setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh melalui ma’rifah menurutnya lebih bermutu daripada yang diperoleh melalui akal. Ma’rifah merupakan tahapan yang lebih dulu dilewati sebelum mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Mahabbah bagi al-Ghazali bukan seperti mahabbah Rabi’ah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta yang timbul dari kasih dan Rahmat Tuhan kepada manusia, yang memberi manusia hidup, rejeki, kesenangan dan lain-lain.
Satu pernyatan beliau yang senantiasa dipegang teguh oleh kebanyakan sufi adalah bahwa: ”Apabila seorang hamba telah bersunyi dengan dirinya, berhentilah perjalanan indra lahir dan bangunlah indra baitn. Maka teruslah berdzikir dengan hati, sebut dan ingatlah Dia dan jangan lepaskan. Dan ketika itu ia tidak mendengar kabar dari dirinya atau dari karena tidak ada lagi yang mengauasai batin, selain yang Maha Kuasa. Semua itu terbukalah pintu hati dan sangguplah seorang melihat. Terbukalah langit dan bumi, arsy dan kursi, luh dan Qalam. Dengan cara mujahaddah ini, tersingkaplah hijab yang memisahkan antara khaliq dengan makhluk, sehingga terungkaplah apa yang menjadi rahasia yang berada dibalik alam nyata ini. Indralahir dan indra batin mengambil peranan penting dalam hal ini, dan akibatnya ilmu-ilmu yang selama ini samar-samr dan hanya berdasarkan pengalaman saja berubah menjadi suatu kenyataan bahkan ilmu-ilmu tersebut dapat disusun menjadi buku-buku yang menjadi pegangan bagi penganut tasawuf berikutnya.

Al-Ghazali membagi derajat mencapai iman dan yakin kepada tiga tingkatan yakni:
a. Tingkatan orang awam
Dalam tingkatan ini, orang hanya mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya.
b. Tingkatan orang Alim
Dalam tingkatan ini, seseorang mendapat kepercayaan dengan jalan menerima, membandingkan dan memeriksa segala ilmu atau informasi yang dating padanya, dengan segenap kekuatan akal dan manthiknya (intelektualisme).
c. Tingkatan orang Arif
Dalam tingkatan ini, bisa tumbuh keyakinan dalam diri seseorang setelah ia menyaksikan sendiri akan kebenaran yang dating dengan tidak ada dinding-dinding yang menutupinya.
Al-Ghazali lebih lanjut mengungkapkan tentang kebahagiaan. Menurutnya kebahagiaan itu ada dua yakni lazaat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan). Dengan bertambah banyak yang diketahui bertambah pula kebahagiaan dan kepuasan. Itulah sebabnya orang-orang yang lebih luas ilmunya lebih merasa bahagia daripada orang yang kurang ilmunya.
Rasa puasa timbul karena mengetahui sesuatu yang timbul menurut tabi’at kejadian sesuatu itu. Kepuasan mata ialah apabila melihat rupa yang indah, kepuasan telinga adalah apabila mendengar suara yang merdu. Maka segala indra dalam tubuh mendapatkan kepuasan karena tercapai pengetahuan itu menurut imbangnya masing-masing. Dan tidaklah syak lagi-demikianlah Ghazali-bahwasanya puncak keindahan, kepuasan dan kebahagiaan ialah hanya dengan mengetahui pokok pangkalnya segala kejadian itu, dan pokok pangkal itu bersumber dari Allah dan tidak ada lagi diatas-Nya.